Minggu, 12 Januari 2014

Aku, Buyan dan Mereka



            Ini adalah kisah nyata tentang pengalaman ekstrim saya berasama teman-teman saat melakukan kegiatan kemah di Danau Buyan pada liburan semester lalu. Bermula dari acara nongkrong bersama, tercetus sebuah ide iseng untuk melakukan acara kemah untuk menutup liburan semesteran ini. Ini mungkin tergolong nekat, karena tak satupun dari kami pernah berkemah sebelumnya, tapi kami sudah mantap. Hari demi hari menjelang waktu kemah tiba, kami sibuk mempersiapkan segala perlengkapan. Mulai dari tenda, perlengkapan masak, hingga barang bawaan pribadi. Bermodal pengetahuan kemah yang seadaanya, kami bersemangat mempersiapkan bak bocah petualang saja.
            “Kriiiinnnngggg”, alarm berbunyi pukul 08.00 pagi. Terpaksa saya membuka mata padahal saya tahu itu hari libur. Tapi rasa malas hilang ketika sadar bahwa hari ini waktunya untuk berkemah. “lalayeyeyelalalayeyeye”, seru saya. Setelah mandi dan mempersiapkan semuanya, saya bergeas menuju rumah salah seorang teman untuk menunggu teman-teman yang lain. Seperti biasa, banyak sekali yang telat datang. Kesal juga, tp maklum karena ini Indonesia. Akhirnya semua berkumpul pukul 10.00, lalu 9 petualang amatir siap berangkat.
Sepanjang perjalanan kami mengira-ngira apa yang akan kami lakukan disana nanti.sungguh indah fantasi kami. Satu setengah jam perjalanan, cuaca berubah drastis. Suhu sejuk Bedugul membuat tenang suasana hati. Sungguh berbanding terbalik dengan hiruk pikuk kota Denpasar. Akhirnya kami sampai tepat ketika matahari berdiri di atas kepala.
Hal pertama yang kami lakukakan adalah mebanten, agar kami diberikan keselamatan dalam acara kami ini. Setelah itu, kami langsung mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Sebagian dari kami mencari kayu bakar, sebagian lagi mempersiapkan keperluan memasak. Ini sangat melatih kekompakan kami. Karena ini pengalaman perdana, kami ingin memulai semuanya lebih awal agar tidak kelabakan. Meskipun siang hari dan panas, tp suasana sejuk danau mengalahkannya. Itu yang kami pikirkan awalnya. Tanpa pernah tahu apa yang akan terjadi malam hari nanti.
Senja pun tiba. Tenda sudah berdiri tegak. Kayu bakar sudah siap. Keindahan sunset Buyan, menutup hari indah kami. “Wuuuussssshhh”, angin malam mulai menghantui. Awalnya tidak terlalu dingin, tapi semakin malam dinginnya semakin menusuk. Api unggun yang menyala terasa kurang hangat. Dari sinilah pengalaman ekstrim kami dimulai.
Kami memutuskan untuk membuat dua kelompok. Kelompok pertama bertugas berjaga di luar tenda agar api unggun tetap menyala. Kelompok yang lainnya beristirahat di tenda sampai waktu yang disepakati. Saya mendapat kelompok pertama, sehingga bersama 3 teman lainnya berjaga di luar. Suhu yang semakin ekstrim membuat saya dan teman-teman lain kedinginan. Semakin larut semakin dingin. Saya melihat teman-teman yang lain di tenda sudah tertidur. Kami yang berada di luar berusaha tenang meskipun sangat dingin. Sampai waktu yang disepakati, mereka belum bangun juga. Terpaksa kami berjaga lagi agar api unggun yang menjadi penghangat tetap menyala. Suara-suara aneh pun menambah kesan mistis malam itu. Ditambah lagi salah seorang teman kami yang tambah menakut-nakuti.
Jam menunjukan pukul 03.00 dini hari, semua teman-teman di tenda bangun dan tak kuasa menahan suhu dingin yang begitu ekstrim. Kami yang berada di luar sudah terlanjur tidak bisa tidur dan berkumpul bersama melingkari api unggun. Dingin yang tak bisa kami bayangkan sebelumnya. Sampai akhirnya persediaan kayu bakar menipis, saya memutuskan untuk menuju pasar setempat bersama salah seorang teman untuk mencari sesuatu yang hangat-hangat. Saya berangkat menggunankan sepeda motor.
Sunyi, hening, sepi, begitulah gambaran Pasar Buyan pukul 04.00 pagi. Benar-benar tidak ada seorang pedagangpun. Kesan pasarpun seolah tak tampak. Mungkin karena cuaca ekstrim. Dengan pasrah, saya kembali ke danau. Sebelum sampai, di tepi jalan menuju danau saya melihat sekumpulan kayu bakar. Mungkin milik penduduk setempat. Dengan terpaksa saya “meminta diam-diam” kayu bakar tersebut. Takut, itu pasti. Tapi ini juga demi kami semua. “Sudahlah, dosa ditanggung pemenang”, sahut teman saya. Kami berhasil bertahan hingga mentari terbit dan memberikan sinarnya yang hangat. Mungkin untuk pertama kalinya kami bersyukur akan sinar matahari. Sungguh hangat yang kami rindukan. Sebelum pulang tak lupa kami mengabadikan kenangan yang tak terlupakan ini dengan berfoto.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar