Ini adalah kisah nyata tentang
pengalaman ekstrim saya berasama teman-teman saat melakukan kegiatan kemah di
Danau Buyan pada liburan semester lalu. Bermula dari acara nongkrong bersama, tercetus sebuah ide iseng untuk melakukan acara
kemah untuk menutup liburan semesteran ini. Ini mungkin tergolong nekat, karena
tak satupun dari kami pernah berkemah sebelumnya, tapi kami sudah mantap. Hari
demi hari menjelang waktu kemah tiba, kami sibuk mempersiapkan segala
perlengkapan. Mulai dari tenda, perlengkapan masak, hingga barang bawaan
pribadi. Bermodal pengetahuan kemah yang seadaanya, kami bersemangat
mempersiapkan bak bocah petualang saja.
“Kriiiinnnngggg”, alarm berbunyi
pukul 08.00 pagi. Terpaksa saya membuka mata padahal saya tahu itu hari libur.
Tapi rasa malas hilang ketika sadar bahwa hari ini waktunya untuk berkemah.
“lalayeyeyelalalayeyeye”, seru saya. Setelah mandi dan mempersiapkan semuanya,
saya bergeas menuju rumah salah seorang teman untuk menunggu teman-teman yang
lain. Seperti biasa, banyak sekali yang telat datang. Kesal juga, tp maklum
karena ini Indonesia. Akhirnya semua berkumpul pukul 10.00, lalu 9 petualang
amatir siap berangkat.
Sepanjang perjalanan kami
mengira-ngira apa yang akan kami lakukan disana nanti.sungguh indah fantasi
kami. Satu setengah jam perjalanan, cuaca berubah drastis. Suhu sejuk Bedugul
membuat tenang suasana hati. Sungguh berbanding terbalik dengan hiruk pikuk
kota Denpasar. Akhirnya kami sampai tepat ketika matahari berdiri di atas
kepala.
Hal pertama yang kami lakukakan adalah
mebanten, agar kami diberikan
keselamatan dalam acara kami ini. Setelah itu, kami langsung mencari lokasi
untuk mendirikan tenda. Sebagian dari kami mencari kayu bakar, sebagian lagi
mempersiapkan keperluan memasak. Ini sangat melatih kekompakan kami. Karena ini
pengalaman perdana, kami ingin memulai semuanya lebih awal agar tidak
kelabakan. Meskipun siang hari dan panas, tp suasana sejuk danau mengalahkannya.
Itu yang kami pikirkan awalnya. Tanpa pernah tahu apa yang akan terjadi malam
hari nanti.
Senja pun tiba. Tenda sudah berdiri
tegak. Kayu bakar sudah siap. Keindahan sunset
Buyan, menutup hari indah kami. “Wuuuussssshhh”, angin malam mulai
menghantui. Awalnya tidak terlalu dingin, tapi semakin malam dinginnya semakin
menusuk. Api unggun yang menyala terasa kurang hangat. Dari sinilah pengalaman
ekstrim kami dimulai.
Kami memutuskan untuk membuat dua
kelompok. Kelompok pertama bertugas berjaga di luar tenda agar api unggun tetap
menyala. Kelompok yang lainnya beristirahat di tenda sampai waktu yang
disepakati. Saya mendapat kelompok pertama, sehingga bersama 3 teman lainnya
berjaga di luar. Suhu yang semakin ekstrim membuat saya dan teman-teman lain
kedinginan. Semakin larut semakin dingin. Saya melihat teman-teman yang lain di
tenda sudah tertidur. Kami yang berada di luar berusaha tenang meskipun sangat
dingin. Sampai waktu yang disepakati, mereka belum bangun juga. Terpaksa kami
berjaga lagi agar api unggun yang menjadi penghangat tetap menyala. Suara-suara
aneh pun menambah kesan mistis malam itu. Ditambah lagi salah seorang teman
kami yang tambah menakut-nakuti.
Jam menunjukan pukul 03.00 dini hari,
semua teman-teman di tenda bangun dan tak kuasa menahan suhu dingin yang begitu
ekstrim. Kami yang berada di luar sudah terlanjur tidak bisa tidur dan
berkumpul bersama melingkari api unggun. Dingin yang tak bisa kami bayangkan
sebelumnya. Sampai akhirnya persediaan kayu bakar menipis, saya memutuskan untuk
menuju pasar setempat bersama salah seorang teman untuk mencari sesuatu yang
hangat-hangat. Saya berangkat menggunankan sepeda motor.
Sunyi, hening, sepi, begitulah
gambaran Pasar Buyan pukul 04.00 pagi. Benar-benar tidak ada seorang
pedagangpun. Kesan pasarpun seolah tak tampak. Mungkin karena cuaca ekstrim.
Dengan pasrah, saya kembali ke danau. Sebelum sampai, di tepi jalan menuju
danau saya melihat sekumpulan kayu bakar. Mungkin milik penduduk setempat.
Dengan terpaksa saya “meminta diam-diam” kayu bakar tersebut. Takut, itu pasti.
Tapi ini juga demi kami semua. “Sudahlah, dosa ditanggung pemenang”, sahut
teman saya. Kami berhasil bertahan hingga mentari terbit dan memberikan
sinarnya yang hangat. Mungkin untuk pertama kalinya kami bersyukur akan sinar
matahari. Sungguh hangat yang kami rindukan. Sebelum pulang tak lupa kami
mengabadikan kenangan yang tak terlupakan ini dengan berfoto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar